Perbedaan Sistem Presidensial dan Liberal
Perbedaan Parlementer dan Presidensial
Sistem pemerintahan palementer adalah sistem pemerintahan yang badan eksekutif dan legislatif (pemerintah dan parlemen/DPR) memiliki hubungan yang bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan yang badan legislatif dan badan eksekutif boleh dikatakan tidak terdapat hubungan seperti pada sistem pemerintahan parlementer. Sistem Pemerintahan Presidensial pada umumnya memiliki ciri sebagai berikut: (i) kekuasaan pemerintahan terpusat pada satu orang, yaitu presiden, sehingga presiden berkedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, (ii) presiden dibantu oleh menteri-menteri yang diangkat dan bertanggung jawab kepadanya, (iii) masa jabatan presiden ditetapkan dalam jangka waktu tertentu, serta (iv) presiden dan para menteri tidak bertanggung jawab kepada parlemen atau DPR. Sistem pemerintahan presidesial diterapkan di Amerika Serikat, Filipina, dan Indonesia pada saat ini. Sistem Pemerintahan Parlementer memiliki ciri sebagai berikut: (i) kedudukan kepala negara tidak dapat diganggu gugat, (ii) kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen, (iii) susunan anggota dan program kabinet didasarkan atas suara terbanyak dalam parlemen, (iv) kabinet dapat dijatuhkan atau dibubarkan setiap waktu oleh parlemen, dan (v) kedudukan kepala negara dan kepala pemerintahan tidak terletak dalam satu tangan atau satu orang. Sistem pemerintahan parlementer diterapkan di negara Inggris, Eropa Barat, dan Indonesia ketika berlaku UUD RIS dan UUDS 1950.
Menurut S.L. Witman, seperti dikutip Inu Kencana Syafi’i (2001), terdapat empat ciri yang membedakan sistem pemerintahan parlementer dan presidensial. Sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri sebagai berikut: (i) didasarkan pada prinsip kekuasaan yang menyebar (diffusion of power), (ii) terdapat saling bertanggung jawab antara eksekutif dengan parlemen atau legislatif, sehingga eksekutif (perdana menteri) dapat membubarkan parlemen, begitu pula parlemen dapat memberhentikan kabinet (dewan menteri) ketika kebijakannya tidak diterima oleh mayoritas anggota parlemen, (iii) juga terdapat saling bertanggung jawab secara terpisah antara eksekutif dengan parlemen dan antara kabinet dengan parlemen, serta (iv) eksekutif (perdana menteri, kanselir) dipilih oleh kepala negara (raja/ratu/presiden) yang telah memperoleh persetujuan dan dukungan mayoritas di parlemen. Sistem pemerintahan presidensial memiliki ciri sebagai berikut: (i) didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), (ii) eksekutif tidak memiliki kekuasaan untuk membubarkan parlemen maupun ia (eksekutif) harus berhenti ketika kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen, (iii) tidak ada hubungan saling bertanggung jawab antara presiden dan kabinetnya kepada parlemen; kabinet secara keseluruhan bertanggung jawab kepada presiden (chief executive), (iv) eksekutif dipilih oleh para pemilih (para pemilih dimaksudkan adalah rakyat yang melakukan pemilihan secara langsung atau pemilihan secara tidak langsung melalui dewan pemilih (electoral college).
Penyebaran kekuasaan (diffusion of power) sebagai salah satu ciri sistem pemerintahan parlementer tampak pada pemerintahan koalisi multipartai. Apabila koalisi terjadi karena proses negoisasi yang intensif, hal itu akan melahirkan konsensus yang kuat dan akan memberikan sumbangan terwujudnya kehidupan politik yang stabil. Di dalam sistem kekuasaan yang menyebar, di samping memperlihatkan dinamika politik yang tinggi karena berpotensi untuk melahirkan veto, apabila masing-masing kekuatan politik tidak bijaksana dapat saja melahirkan jalan buntu yang menimbulkan ketidakstabilan politik. Sebaliknya, pemisahan kekuasaan (separation of power) pada sistem pemerintahan presidensial cenderung meminimalkan veto dan jalan buntu karena adanya check and balance (saling kontrol dan saling imbang) antarlembaga tinggi negara sehingga dapat dicegah diktatorisme.