Background

PAGEBLUK

Pagebluk Semu
oleh : penulis


Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan desaku. Dalam waktu seminggu sudah ada empat warga meninggal dengan waktu yang hampir berurutan. Kematian mereka ada yang terlihat wajar karena memang memiliki tanda-tanda yang mencolok yaitu kematian dari faktor usia dan faktor kesehatan. Tapi kematian yang lain itulah yang membuat warga bertanya-tanya, ada apa gerangan? Muhsin dan Imron meninggal tanpa menunjukkan tanda-tanda. Mereka sebelumnya sehat dan bugar tapi sesaat sebelum meninggal mereka merasakan sesak di ulu jantung mereka. Seminggu ini sudah empat warga. Pagebluk, mungkinkah ini yang disebut dengan pagebluk. Menurut Mbah Kakung dulu, warga sering menyebut pagebluk jika ada kematian yang melanda suatu daerah dengan waktu yang hampir bersamaan. Aku pikir itu hanyalah mitos dan kepercayaan semu dari nenek moyang warga desaku. Tapi sekarang? Dalam kurun waktu seminggu sudah empat warga meninggal berurutan.
Warga kampungku masih dilanda keresahan dengan kematian empat warga kami secara mendadak. Bukan hanya warga kampung saja, melainkan aku sendiri juga merasa ketakutan. Baru pertama ini aku mengalami kejadian seperti ini. Dulu, menurut cerita Mbah Kakung di kampungku pernah terjadi hal seperti ini tapi itu terjadi sudah cukup lama. Waktu itu secara berurutan terjadi delapan kematian dalam kurun waktu sebulan. Tiba-tiba bulu-bulu halus di tubuhku langsung berdiri tegak ketika aku mengingat cerita dari Mbah Kakung. Apakah kejadian di tahun 60an itu akan terulang lagi, sekarang?
Setelah kematian empat warga Minggu lalu. Kini warga desaku dikagetkan dengan berita dengan kematian Husen karena tenggelam ke dalam kolam penampungan air di tempat pembuatan batu bata miliknya. Seluruh desa gempar, bagaimana tidak? Husen adalah lelaki paruh baya yang sehat dan bugar lagi pula dia juga memiliki kemampuan mumpuni dalam berenang. Mana mungkin dia mati di kubangan air tempat yang dia cumbui sehari-hari. Lagi-lagi, pagebluk itu keluar juga dari mulut-mulut warga, baik dari obrolan di warung atau sekedar selintingan belaka. Keadaan desaku juga sangat tidak menentu, malam datang dengan mencekam karena semua orang sibuk berdiam di rumah.
Aku sendiri yang sering keluar malam untuk melihat latihan gamelan di sanggar Kanoman desa sebelah juga harus mengurung diri di dalam rumah. Aku tidak serta-merta berani pergi ke desa sebelah yang melewati pematang sawah gelap, apalagi di ujung pematang sawah itu aku harus melewati gerombolan rumpun pohon bambu yang cukup rindang. Aku harus memendam rinduku pada alunan gong yang membahana dan rancak gendang yang riuh. Sudah seminggu aku tidak melihat sanggar itu latihan. Tapi apa mau di kata, ketakutan yang telah mengurungku dalam labirin pengap kamarku. Desaku jelas bagai desa mati di malam hari. Hanya desir angin yang terdengar suaranya. Mencekam sekali.
Aku merasa lebih lega ketika sudah seminggu tidak ada kematian di desaku. Warga juga merasakan hal yang sama. Semua kembali kepada alur yang semestinya. Di malam hari anak-anak riuh riang bermain aneka permainan tradisional di depan rumah Mbah Manten sedangkan para orang tua bercengkerama dalam hangatnya seduhan secangkir kopi hitam yang berwarna pekat legam. Aku juga riang melihat anak-anak bermain jamuran, getengan, petak umpet dan lainnya. Keceriaan macam itu hampir hilang selama dua Minggu ini karena dicekam kengerian yang disebut-sebut dengan pagebluk. Keceriaan itu memang tidak sebanding dengan kedukaan yang dialami oleh warga yang ditinggalkan mati. Tapi bagi warga desaku sementara ini keadaan telah cukup dirasa membaik.
Keceriaan kami ternyata tidak lama. Kembali lagi pagebluk beraksi. Mbah Sarwo yang sudah berumur 104 tahun itu dijemput benggala kematiannya. Semua gempar oleh kabar yang tersiar di pagi buta itu. Meruntuhkan keceriaan anak-anak dan meluluhkan ketenangan kami para muda dan tetua. Semua bergegas mengurusi segala bentuk caruk-maruk prosesi pemakaman. Selepas siang kami siap mengantar Mbah Sarwo bersanding manis menuju lahatnya. Tangis handai dan sanak Mbah Sarwo membaur dalam ketakutan para warga.
Lagi-lagi, datanglah kabar yang mampu mendentamkan jantung kami. Kabar itu adalah kematian Sulamah karena mengalami kegagalan ketika melahirkan di rumah sakit. Memang Sulamah memiliki riwayat hipertensi dan jantung lemah sehingga prosesi kelahiran normal akan berpontensi kematian. Lebih-lebih klimakslah kekagetan kami karena janin Sulamah juga tidak bisa tertolong. Gempar dan bahanalah keadaan kami, bagaimana mungkin dalam sehari tiga warga mati bersamaan. Kembali isu sentral itu muncul kembali pagebluk mematikan desa kami. Mematikan sendi-sendi kehidupan karena perasaan mencekam karenanya.
Setelah kejadian hari itu, warga desaku sangat sensitif dengan adanya isu yang berbau klenik. Mulai dari isu ilmu hitam, santet yang merebak perdukunan. Isu-isu adalah sumbu pemantik bom yang siap meledak, hanya menunggu waktu. Aku takut jika isu itu nantinya menggiring masyarakat untuk mencari kambing hitam dan melakukan hal-hal nista dan anarkis. Klenik dan segala unsur mistisnya memang menjadi obrolan panas dan ini akan menimbulkan gesekan dan hantaman pada pola sosial warga desaku. Obrolan-obrolan warga itu kini telah meruncing ke sebuah ilmu yang disebut “Dadak Nogopati” sebuah ilmu kebal dan ilmu awet muda. Aku sempat mendengar obrolan mereka di warung.
Aku yakin, bahwa di desa kita ada yang mempelajari ilmu itu.” Kata-kata Kirman memecah suasana. Mendengar kata-kata Kirman, aku langsung menanyakan perihal itu.
Ilmu apa ta, Lek?” Dalam logat kampung.
Ya dadak nagapati. Apa lagi kalau bukan ilmu itu.” Semua tercengang dengan jawaban Kirman. Kami kembali menanyakan tentang itu kembali.
Memangnya ilmu apa itu?”
Itu ilmu untuk kebal segala senjata baik pukul, bacok, tikam, tembak serta ilmu awet muda. Konon katanya jika salah seorang mempelajari ilmu itu dia harus menarik nyawa 99 orang. Itu syarat utama ilmu itu. Selain itu dia harus menyimpan keris tertentu di dalam kamar yang berwarna merah.”
Apa iya ada, Lek.? Di zaman sekarang ini, apa masih ada orang-orang yang mempelajari ilmu itu. Ini zaman modern, Lek. Masalah kematian itu jelas hak mutlak sang pemilik jagad raya. Bukan berada di tangan manusia. Masa manusia mampu mengalahkan Esa-Nya sang pemilik jagad, Lek. Itu cuma mitos dan takhayul, Lek.” Cecarku menyanggah omongan kosong Kirman. Aku tidak mau isu yang di hembuskan Kirman akan menyulut bara api yang terlanjur meletup di hati warga desaku. Sebelum bara itu meledak maka aku berusaha untuk menyiramnya.
Ya wis ta, tapi aku tahu itu juga dari Mbahmu kok. Dulu sebelum meninggal, Mbahmu sering bercerita kepadaku. Tapi kurasa wajar, karena kamu memang sudah berada di zaman yang sudah modern. Tentu hal-hal itu tidak kamu percayai lagi. terlebih sekolahmu juga tinggi.” Penuturan Kirman seolah menamparku. Bagaimana tidak? Aku membantah sesuatu yang bersumber dari Mbahku sendiri. Aku langsung mengeloyor meninggalkan warga yang sedang asyik membicarakan segala unsur klenik itu. Aku sama sekali tak tertarik dengan bahasan yang di luar macam itu.
Aku ingin sekali menghindari segala macam kepenatan pikiranku dari isu-isu yang memuakkan itu. rasanya aku ingin sekali melihat sanggar Kanoman latihan gamelan. Aku ingin merasakan dentuman gong dan rancak gendang yang akan membawa imajiku melayang. Musik gamelan adalah obat paling ampuh dalam menghilangkan segala penatku. Aku tak peduli dengan sepinya malam karena aku ingin telah merindu gamelan di desa sebelahku. Aku sangat menikmati alunan musik yang mendayu lembut itu. Aku tak sadar kalau malam telah pekat dan awan juga berarak di ufuk fajar. Suara gamelan itu seolah menghipnotisku. Aku melupakan sejenak isu klenik yang ada di desaku, isu itu adalah obrolan luar biasa di kalangan tetua desaku. Benarkan semua itu? pikirku dangkal.
Aku kembali menyusuri jalanan pematang sawah yang gelap menghitam. Aku langsung menuju rumah. Aku merasa ada yang janggal karena pintu rumahku tak terkunci. Biasanya bapak pasti mengunci pintu ketika aku melihat gamelan di desa sebelah, kemudian bapak meletakkan kunci di atas ventilasi. Tapi kali ini lain, pintu tak terkunci. Aku langsung masuk ke dalam rumah. Hidungku mencium aroma yang tak lazim di rumah ini. Aroma ini mirip pembakaran kemenyan atau dupa. Bulu tipisku langsung berdiri karena koneksi dengan bau yang dicium hidungku. Lama-lama bau itu menyengat tebal.
Aku langsung menuju kamar belakang untuk memastikan apa yang aku cium. Betapa terkejutnya diriku ketika aku mendapati kamar belakang sudah berwarna merah. Sejak kapan? Tanyaku dalam hati. Mataku semakin terbelalak ketika mendapati di tengah kamar terdapat sebuah tungku pembakaran kemenyan dan di sekitarnya juga terdapat beberapa kembang. Di belakang tungku itu aku melihat ada sebuah benda yang dibalur kain putih. Aku langsung mengambil dan membuka benda itu. Aku mendapati sebuah keris, serta-merta aku langsung melemparnya. Tubuhku langsung melunglai terduduk bersandar tembok.
Aku tak percaya dengan apa yang kulihat. Aku langsung memporak-porandakan semua itu. Kembali tubuhku melemas. Aku tak menyangka pagebluk semu itu ada di bawah atap rumahku sendiri. Aku melemas dan memuncak lunglai. Mataku separuh memejam dan aku merasa akan pingsan tak sadarkan diri di kamar merah bapakku.

Categories: Share

Leave a Reply